Jejak Baret Ungu
Pada tahun 1958, para mahasiswa direkrut untuk
mengikuti wajib latih militer untuk persiapan operasi Trikora di Irian Barat.
Selama tiga bulan mereka dilatih pasukan militer di kodam-kodam setempat.
Tahun 1960-an, partai-partai masuk kampus melalui
organisasi-organisasi kemahasiwaan, seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis
Indonesia), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI
(Gerakan Mahasiwa Kristen Indonesia), dan CGMI (Centra Gerakan Mahasiswa
Indonesia--afiliasi PKI). Waktu itulah ABRI memandang perlu membentuk
organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi ke ABRI. Dengan dalih bela negara,
mantan Menhankam Edi Sudrajat menilai, Menwa berperan penting dalam menghantam
CGMI.
Sejalan dengan itu, para senior di
Angkatan Bersenjata menginginkan agar keterlibatan mahasiswa dalam bela negara
disistematisasi. Maka, dibentuklah Menwa di beberapa daerah. Waktu itu baretnya
belum seragam. Ada yang berbaret merah, ada pula yang berbaret kuning.
Akhirnya, mereka diseragamkan dalam baret ungu. Secara legal, keberadaan Menwa
dikukuhkan dengan dua Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yakni
Menhankam/Pangab, Mendikbud, dan Mendagri. SKB tersebut adalah SKB No.
Kep/39/XI/1975 yang ditindaklanjuti SKB No. Kep/02/I/1978. Dalam SKB tersebut
disebutkan, fungsi Menwa adalah sebagai stabilisator dan dinamisator kampus.
Peran ini sempat dipertanyakan sejumlah anggorta DPR dan kalangan kampus.
Soalnya, ada kesan seolah-olah Menwa telah menerima sebagian wewenang ABRI.
Penampilan fisik Menwa memang hampir
tidak ada bedanya dengan tentara. Sehari-hari mereka memakai seragam
hijau-hijau mirip ABRI. Bahkan, sejumlah oknum sering memakai seragam loreng,
meski tindakan ini dianggap indisipiliner. Organisasi Menwa juga berbeda dengan
organisaisi kemahasiswaaan lainnya. Kalau senat Mahasiswa Perguruan Tinggi
(SMPT) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) berada di bawah pembinaan Pembantu
Rektor III, Menwa malah langsung berada di bawah Rektor yang berkedudukan
sebagai Kepala Markas Distrik.
Hirarki organisisasi Menwa juga
tidak terbatas pada rektor. Mereka memiliki struktur organsasi yang langsung
dibina aparat teritorial militer. Di tingkat daerah kemiliteran, mereka berada
di bawah Komandan Resimen (Danmen), yang merupakan perwira aktif ABRI. Dengan
atribut fisik, karakter organisasi, dan fungsi yang ekslusif, ditambah ulah
sejumlah oknum yang over acting, Menwa kerap mendapat penilaian bernada
“miring”. Kalangan aktivis kampus sering menjuluki anggota Menwa sebagai “intel
mahasiswa”. Memang banyak bukti yang bisa ditunjuk. Dalam protes
kenaikan SPP di sebuah kampus misalnya, Menwa malah bertindak sebagai “aparat”
yang berhadapan dengan teman-temannya sendiri. Di Universitas Diponegoro
Semarang, Menwa pernah menangkap dan mengintrogasi dua orang mahasiswa yang
dicurigai menebarkan imbauan kepada teman-temannya untuk mengahadiri
persidangan kasus Golput di pengadilan. Tak hanya itu. Di sejumlah kampus, bentrok
fisik antara Menwa dengan “mahasiswa sipil” pun terjadi. Pada 18 Oktober 1994,
Menwa Universitas Nasional Jakarta bentrok dengan mahasiswa pecinta alam dari
almamater yang sama. Akibat bentrok ini, empat mahasiswa luka-luka, sebuah
sepeda motor dan posko Menwa hangus terbakar.
Seiring dengan banyaknya kritik
terhadap keberadaan Menwa, pada 11 Desember 1994, pemerintah kembali
mengeluarkan SKB. SKB ini tentu bukan untuk membubarkan Menwa. Sebab, Menwa
masih dianggap fungsional. SKB yang dikelurkan Menhankam, Mendikbud, dan
Mendagri ini hanya menindaklanjuti SKB-SKB sebelumnya. Menurut Menko Polkam Soesilo Sudarman memang ada
perbedaan mendasar antara SKB baru dengan SKB-SKB sebelumnya. Perbedaannya
antara lain menyangkut soal tanggung jawab pembinaan. Dalam SKB 1994 ini, Menwa
secara tegas dinyatakan sebagai rakyat terlatih. Dengan demikian, tanggung
jawab pembinaan dan pendidikannya menjadi tanggung jawab Menhankam.
Dalam kaitannya dengan kegiatan
perguruan tinggi, pembinaan satuan Menwa di setiap perguruan tinggi menjadi
tanggung jawab mendikbud. Sedang dalam hubungannya dengan Unit Kegiatan
Mahasiswa di perguruan tinggi, pembinaan Menwa menjadi tanggung jawab pimpinan
perguruan tinggi atau rektor. Sementara itu, pembianaan teknis administratif
Menwa dalam rangka pelaksanaan perlindungan massa (Linmas), fungsi ketertiban
umum (Tibum), dan fungsi perlindungan rakyat (Linra), menjadi tanggung jawab
mendagri. Dalam pengorganisasian, SKB menetapkan, di daerah tingkat I, hanya
ada satu Resimen Mahasiswa. Di tiap perguruan tinggi, hanya ada satu Satuan
Menwa (Satmenwa). Jika di suatu daerah tingkat II ada lebih dari dua Satmenwa,
dapat dibentuk satu Subresimen Mahasiswa.
Komandan Menwa (Danmenwa) adalah
Asisten Teritorial atau wakil Aster Kasdam atau Korem setempat. Ia diangkat
oleh Pangdam setempat. Sedangkan wakil Komandan Menwa dijabat oleh seorang
dosen dari perguruan tinggi yang diangkat Pangdam. Kepala Staf Menwa sendiri
dipilih dari salah seorang anggota Menwa. Ia sekurang-kurangnya sudah menduduki
semester VI. Ia diangkat Dan Menwa atas persetujuan pimpinan perguruan tinggi.
Sebagai rakyat terlatih, Menwa berfungsi sebagai Wanra (Perlawanan Rakyat).
Menwa digunakan Pangdam atau Danrem setelah koordinasi dengan pimpinan
perguruan tinggi. Sebagai rakyat terlatih untuk fungsi Kamra (Keamanan Rakyat)
Menwa digunakan kepolisisan setelah mendapat persetujuan Pangdam/Danrem dan
pimpinan perguruan tinggi. Dalam hubungan kegiatan di luar perguruan tinggi,
Menwa dapat membentuk satuan gabungan dengan sebutan batalyon atau kompi Menwa.
`Mengenai penggunaan seragam, Menwa tidak dibenarkan
lagi menggunakan seragam loreng. Untuk kegiatan sehari-hari di kampus, Menwa
dianjurkan menggunakan pakaian dinas harian yang berwarna khaki. Sedang untuk
kegiatan lapangan, pakaian seragam yang mereka gunakan adalah yang berwarna
hijau.
Meski baju Menwa sudah tidak lagi loreng, “fungsi” dan
“gaya” mereka belum juga berubah. “Bedak militerisme” yang amat tajam masih
menutupi “wajah sipil” mereka. Kini, tatkala keberatan terhadap militerisasi
sipil semakin menguat, keberadaan Menwa pun kembali digugat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar